Menelusuri Logika Berpikir Jaksa Penuntut Umum Dalam Mehami Makna “Kesengajaan” Pada Perkara Penyiraman Air Keras Novel Baswedan




Sebagaimana diketahui bersama, bahwa pada hari Kamis tanggal 11 Juni 2020, terdakwa atas nama Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette telah dituntut oleh jaksa penuntut umum atas nama Fedrik Adhar, S.H. di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan pidana penjara 1 (satu) tahun. Kasus ini adalah buntut dari penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Salim Baswedan alias Novel Baswedan, yang terjadi pada tanggal 11 April 2017 lalu.

Dalam pertimbangan tuntutannya, jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara menyebutkan bahwa, terdakwa atas nama Rahmat Kadir Mahulette secara tidak sengaja menyiramkan air keras ke wajah Novel Baswedan. Ia pula menyebutkan bahwa, terdakwa tidak berniat untuk mengarahkan air keras tersebut ke wajah Novel Baswedan. Pertimbangan jaksa penuntut umum inilah yang hingga saat ini ramai dibicarakan dan kian menjadi bahan guyonan di masyarakat. Lalu, bagaimanakah pertimbangan “kesengajaan” tersebut dalam aspek hukum ? berikut penjelasannya.


Prof. Moeljatno memberikan beberapa unsur penting yang harus dibuktikan oleh jaksa penuntut umum dalam suatu perkara pidana yakni :
1.  Unsur Subjektif, yang terdiri dari mens rea (niat jahat) dan kesalahan yang meliputi kesengajaan atau kelalaian dan kemampuan bertanggung jawab
2. Unsur Objektif, berupa perbuatan nyata/tampak (actus reus)

Mari kita uraikan kedua unsur tersebut dalam perkara a quo (tersebut) secera umum.
1. Mens Rea (Niat Jahat)
Sebagaimana uraian (kronologi) yang dituangkan oleh jaksa penuntut umum dalam surat dakwannya bahwa, sekira bulan April 2017, Terdakwa mencari alamat rumah Novel Salim Baswedan Alias NOVEL BASWEDAN dengan maksud untuk diserang, karena Terdakwa tidak suka atau membenci Novel Salim Baswedan alias Novel Baswedan karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI). Selanjutnya Terdakwa menemukan alamat Novel Salim Baswedan alias Novel Baswedan dari internet, yaitu di Jl. Deposito Blok T No.8 RT.003 RW.010 Kelurahan Pegangsaan Dua, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara.

2. Kesengajaan
Sebagaimana uraian (kronologi) yang dituangkan oleh jaksa penuntut umum dalam surat dakwannya bahwa, sekitar pukul 05.10 WIB Terdakwa Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis melihat saksi korban Novel Salim Baswedan alias Novel Baswedan berjalan keluar dari Masjid Al-Ikhsan menuju tempat tinggalnya. Seketika itu Terdakwa menyampaikan bahwa ia akan memberikan pelajaran kepada seseorang dan meminta Ronny Bugis mengendarai motornya secara pelan-pelan mendekati Novel Salim Baswedan alias Novel Baswedan sambil bersiap-siap menyiramkan  cairan asam sulfat (H2SO4) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Berdasarkan arahan Terdakwa tersebut, Ronny Bugis mengendarai sepeda motornya pelan-pelan, dan ketika posisi Terdakwa Rahmat Kadir Mahulette yang berada di atas motor dan sejajar dengan saksi Novel Salim Baswedan alias Novel Baswedan, Terdakwa Rahmat Kadir Mahulette langsung menyiramkan cairan asam sulfat (H2SO4) tersebut ke bagian kepala dan badan saksi korban Novel Salim Baswedan alias Novel Baswedan. Selanjutnya Ronny Bugis atas arahan Terdakwa langsung melarikan diri dengan menggunakan sepeda motornya yang dikendarai dengan  cepat.

3. Perbuatan Nyata (Actus Reus)
Sebagaimana uraian (kronologi) secara keseluruhan yang dituangkan oleh jaksa penuntut umum dalam dakwaannya bahwa, perbuatan nyata kedua terdakwa terukur dengan tindakannya yang secara bersama sama melakukan perbuatan penganiayaan dengan rencana lebih dahulu yang mengakibatkan luka-luka berat terhadap Novel Salim Baswedan alias Novel Baswedan.

Dalam hal kaitannya dengan kesengajaan dan kealpaan, Von Hippel mengatakan bahwa, sengaja adalah akibat yang telah dikehendaki sebagaimana dibayangkan sebagai tujuan. Sehingga, unsur utama dari adanya suatu kesengajaan adalah menghendaki dan mengetahui. Sementara kealpaan adalah suatu bentuk dari kesalahan yang  dapat diartikan sebagai perbuatan yang teledor, lalai atau kurang menduga-duga sehingga mengakibatkan akibat diluar kehendak dan pengetahuannya. Hal ini tersimpul pada pendapat Van Hamel dan Simons yang dituangkan oleh Prof. Moeljatno dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana, yang pada pokoknya mengatakan bahwa unsur dari suatu kealpaan adalah tidak mengadakan penduga-duga (dugaan) yang diharuskan oleh hukum, dan tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Berdasarkan uraian (kronologis) yang tertuang dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum, sejatinya telah tersimpul bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa adalah murni suatu kesengajaan yang terlihat sejak ia melakukan perencanaan dan mengeksekusi rencananya. Lalu, apakah pertimbangan jaksa penuntut umum yang menyatakan bahwa  terdakwa secara tidak sengaja menyiramkan air keras ke wajah Novel Baswedan ini dapat diterima secara hukum ?

Perlu dipahami bahwa, suatu kealpaan (kelalaian) dapat terjadi didalam sebuah kesengajaan. Artinya, didalam tindakan yang dilakukan dengan niat dan unsur murni suatu kesengajaan, di dalamnya pun dapat terjadi karena suatu kealpaan (kelalaian). Contohnya, disaat seorang perampok hendak melukai korbannya dengan menggunakan parang, namun saat ia mengayunkan parangnya berhasil ditepis dan parang tersebut mengenai orang lain yang mengakibatkan luka pada orang disekitarnya.


Guru besar Fakultas Hukum UGM Prof. Eddy dalam bukunya Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, dengan mengutip pendapat Suringa, Simons, Remmelink dan Vos, mengatakan bahwa secara doktrin, dikenal beberapa kealpaan (kelalaian) di dalam suatu kesengajaan, yakni :
1. Kesesatan Fakta (feitelijke dwaling). Adalah suatu kekeliruan yang dilakukan seseorang dengan sengaja yang ternyata termasuk kedalam suatu kualifikasi delik (perbuatan pidana). Contohnya, ketika seseorang dengan sengaja menyebarkan suatu berita, yang ternyata berita tersebut tanpa sepengetahuannya adalah berita bohong (hoax).
2.  Kesesatan Hukum (weittelijke dwaling). Adalah suatu kekeliruan yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja dan menduga bahwa perbuatannya tidak dilarang/dibenarkan oleh undang-undang. Contohnya, ketika sesorang dengan sengaja mengendarai sepeda motor di jalur cepat, ia tidak mengetahui bahwasannya ada larangan rambu lalu lintas yang melarang sepeda motor untuk berkendara di jalur cepat.
3.  Kesesatan individu (Error in persona). Adalah suatu kekeliruan dalam menargetkan objek (orang) yang menjadi target/icarannya. Contohnya, ketika seseorng yang hendak membunuh lelaki berbaju kuning bernama A. Namun, yang ia bunuh adalah lelaki berbaju kuning bernama B.
4. Kesesatan Objek (Error in objecta). Adalah suatu kekeliruan yang dilakukan oleh sesorang terhadap objek (benda) yang dituju. Contohnya, seorang jambret yang hendak mencuri uang dari sebuah tas, ternyata setelah tas tersebut dicuri, isinya bukanlah uang melainkan hanyakah sebuah buku.
5. Abrerratio actus. Adalah suatu kekeliruan yang timbul diluar dari kekuasaannya, sehingga akibat yang timbul diluar dari suatu yang dikehendaki. Contoh, ketika seorang begal hendak menembak korbannya, namun korban berhasil menghindar dan peluru tersebut melukai seorang pejalan kaki disekitarnya.

Jika kita bandingkan antara doktrin kealpaan (kelalaian) di dalam suatu kesengajaan dengan perkara a quo, bahwa pertimbangan jaksa penuntut umum yang menyatakan bahwa terdakwa secara tidak sengaja menyiramkan air keras ke wajah Novel Baswedan MUNGKIN saja dapat terjadi, hal ini tentunya berdasarkan pertimbangan jaksa penuntut umum yang didasarkan pada fakta-fakta di persidangan yang diketahui bahwa terdakwa hanyalah hendak menyiram badan korban. Hal ini merupakan suatu bentuk kesengajaan yang didalamnya terdapat suatu kelalaian berupa Error in objecta dan Abrerratio Actus. Sehingga, yang dimaksud dalam pertimbangan jaksa penuntut umum adalah sebuah kelalaian dalam suatu kesengajaan, bukanlah murni sebuah delik kelalaian (kealpaan). Tentu yang menjadi poin kritis dan tanda tanya besar, apakah penyiraman yang dilakukan pada saat posisi terdakwa dengan korban sejajar dan berpapasan dimungkinkan untuk terjadi sebuah kelalaian dalam mengeksekusi tujuannya?

Terlepas dari hal itu, hakimlah yang memiliki otoritas untuk memutus suatu perkara berdasarkan surat dakwaan, fakta-fakta di persidangan, serta keyakinannya yang dapat menilai apakah telah terjadi suatu kelalaian di dalam sebuah kesengajaan, ataukah hal ini hanyalah konspirasi/dalih penuntut umum guna membiaskan dakwaan primer. Hakim dalam hal ini dapat menilai suatu kesengajaan dengan perspektif kesengajaan yang diobjektifkan. Yakni hubungan kausal antara niat dengan perbuatan nyata yang terjadi.

Kesimpulannya, perkara penyiraman air keras yang dilakukan oleh terdakwa Rahmat Kadir Mahulette terhadap Novel Salim Baswedan alias Novel Baswedan adalah murni sebuah kesengajaan. Namun, penuntut umum dalam pertimbangannya menilai adanya suatu kelalaian di dalam sebuah kesengajaan. Lebih lanjut, untuk menilai benar adanya suatu kelalaian di dalam sebuah kesengajaan adalah otritas dari hakim untuk memutus suatu perkara berdasarkan undang-undang dan keyakinannya.





Comments

Popular posts from this blog

Catatan Kritis Terhadap Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Penyiraman Air Keras Novel Baswedan

Prakata Penulis

Kasus Ruslan Buton, Refomasi dalam Bingkai Otoritarianisme