Kasus Ruslan Buton, Refomasi dalam Bingkai Otoritarianisme
Halo Sobat Visioner, kembali lagi di blog Pemuda Visioner yang tentunya dapat memberikan pengetahuan seputar hukum dan isu-isu faktual ketatanegaraan. Tenang aja Sobat Visioner, kali ini Pemuda Visioner akan membahasa isu-isu faktual ketatanegaraan melalui paket BABEH ( Baca Berita Hukum). Tunggu apalagi ? Cus langsung cekidotsss.
Minggu lalu, jagat sosial media digemparkan dengan Surat Terbuka yang
diisi dan diucapkan oleh seorang mantan anggota TNI Angkatan Darat. Diketahui
identitasnya bernama Ruslan Buton, yang kemudian atas dasar Surat Terbuka yang
diunggahnya tersebut, ia ditangkap oleh tim yang dipimpin oleh Dirkrimum Polda
Sultra Kombes dan tim Densus 88 Mabes Polri di kediamannya, Kec. Wabula, Kab.
Buton, Sulawesi Tenggara. Isi dari Surat Terbuka tersbut berbunyi :
" Kepada Yang
Terhormat, Saudara Ir. H. Joko Widodo. Assalamualaykum Warahmatullahi
Wabarakatuh. Saya Ruslan Buton, mewakili suara seluruh warga Negara Kesatuan
Repiblik Indonesia yang sangat prihatin dengan kondisi bangsa saat ini.
Ditengah pandemi covid-19, saya melihat tata kelola berbangsa dan bernegara
sulit dicerna oleh akal sehat untuk dipahami oleh siapapun. Kebijakan-kebijakan
saudara selalu melukai dan merugikan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, adalah ancaman kedulatan NKRI yang sangat kami
cintai ini. Suka atau tidak suka, di era kepemimpinan saudara lah, semua
menjadi kacau balau alias amburadul dalam segala hal. Entah karena
ketidakmampuan saudara atau bisikan kelompok yang memiliki kepentingan yang
tidak saudara pahami, atau mungkin saudara telah tersandera oleh kepentingan
para elit politik. Disini saya tidak akan memaparkan kebijakan-kebijakan
suadara yang lebih banyak merugikan rakyat, bangsa, dan negara. Sebagai bentuk
etika berkomunikasi saya terhadap saudara, yang kebetulan menjabat
sebagai Presiden Republik Indonesia.
Saudara Joko Widodo yang saya hormati, semua sistem yang
berlaku di negeri ini, bagaikan benang kusut yang sangat sulit untuk dirajut
kembali. Oleh karenanya, dengan bahasa yang sangat sederhana ini, saya memohon
dengan hormat, agar saudara dengan tulus dan ikhlas, secara sadar untuk
mengundurkan diri dari jabatan saudara sebgai Presiden Republik Indonesia. Hal
ini perlu dilakukan demi kepentingan bangsa, unuk menyelamatkan NKRi sebelum
kedaulatan negara benar-benar runtuh dan dikuasi asing terutama China Komunis.
Saya tau, ini adalah pilihan yang sulit, namun
merupakan pilihan terbaik. Saudara seorang negarwan yang pastinya ingin
membangun negeri ini, namun harus jujur saya katakan, bahwa saudara belum
memiliki banyak kemampuan untuk membangun bangsa yang besar ini. Berdasarkan
amanat UUD 1945,. Sehingga terjadilah kebijakan-kebijakan yang menjadi blunder
politik, yang sangat merugikan rakyat, bangsa dan negara. Suadara Joko Widodo,
sekali lagi saya sampaikan, bahwa solusi terbaik menyelamatkan bangsa dan NKRI
hanya ada satu. Saudara harus bersikap ksatria dan legowo, untuk mundur dari
tahta kepresidenan. Namun jika tidak, bukan menjadi sebuah keniscayaan akan
terjadinya gerakan revolusi rakyat, dari seluruh elemen masyarakat, seluruh
komponen bangsa dari berbagai suku, agama, bangsa, dan ras yang akan menjelma
bagai tsunami dahsyat yang akan meluluhlantahkan para pengkhianat bangsa. Akan
bermunculan harimau-harimau, singa-singa, dan serigala-serigala lapar untuk
memburu dan memangsa para pengkhianat bangsa.
Sesuai amanat UUD 1945 Pasal 1 Ayat 2 yang mengatakan
bahwa kedaulaan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Unang
Dasar. Saudara Joko Widodo, lengsernya Jenderal besar Soeharto bisa menjadi
sebuah acuan atau referensi untuk saudara lakukan. Sebagai seorang negarawan,
beliau dengan legowo menyatakan mundur dari tahta kepresidenan demi menghindari
pertumpahan darah sesama anak bangsa, dan saya berharap saudara juga bersikap
demikian, sehungga saudara dapat menghindari potensi pertumpahan darah antar
sesama anak bangsa. Ketika Pertiwi memanggil, maka kami akan menjadi garda
terdepan untuk menyelamatkan NKRI.
Kendari, 18 Mei 2020
Ruslan Buton
Panglima Serdadu Ekstrimarta Nusantara "
Lantas
bagaimana hal tersebut dalam perspektif ketatanegaraan ? Perlu diketahui
terlebih dahulu, bahwa Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa "
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar
" . Secara expressiv verbis
, Pasal 1 Ayat 2 ini merupakan pengejawantahan dari sebuah makna
demokrasi. Menurut tafsir R. Kranenburg di dalam bukunya " Inleiding
in de vergelijkende staatsrechtwetenschap", perkataan demokrasi yang
terbentuk atasa dua kata ( demos dan kratos ), bermakna cara memerintah oleh
rakyat. Cara pemerintahan yang bagaimana? yakni cara pemerintahan dimana
golongan yang memerintah dan golongan yang diperintah itu adalah sama dan tidak
terpisah-pisah. Tegasnya, tidak ada perbedaan secara mendasar diantara
keduanya, sehingga konsekuensi logisnya adalah siapapun dan dari golongan
manapun sejatinya merupakan satu kesatuan dalam bingkai negara, khususnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Indonesia sebagai
negara dengan sistem demokrasi, perlu melaksanakan nilai-nilai dari demokrasi,
yakni :
1. Pemerintahan
yang bertanggung jawab
2. Adanya lembaga
perwakilan rakyat
3. Adanya suatu
organisasi politik atau partai politik
4. Kebebasan pers
dan media massa
5. Sstem Peradilan
yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi manusia
Bangsa
Indonesia telah membayar mahal guna mencapai reformasi seperti sekarang ini.
Lengsernya Orde Baru seharusnya menjadi pelajaran dan landasan konstitusional
bangsa dalam memahami dan memaknai penyelenggaraan negara di era reformasi ini.
Karena selepas itulah, UUD 1945 sebagai landasan konstitusional bangsa, telah
diubah dan diperbaharui sebanyak empat kali. Dalam lintasan sejarah perjalanan
bangsa Indonesia, telah terjadi peristiwa-peristiwa penting yang perlu kita
pahami dan kita maknai secara bersama-sama. Perubahan/amandemen UUD 1945 secara
langsung telah mengubah praktik bernegara dalam mewujudkan nilai-nilai
demokrasi pada sistem ketatanegaraan NKRI.
Pasal
28 UUD 1945 dengan tegas menyatakan "
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dnegan undang-undang ". Pasal 2 UU
No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
menyaatakan bahwa " Setiap warga
negara, secara perseorangan atau kelompok menyampaikan pendapat sebagai
perwujudan hak dan tanggungjawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara ". Lebih lanjut, di dalam Pasal 6
dikatakan bahwa " Warga negara
yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk :
a. menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain
b. menghormati aturan-aturan moral yang diakui
umum
c. menaati hukum dn ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
d. menjaga dan menghormati kemanan dan ketertiban
umum
e. menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan
bangsa.
Sepanjang
kalimat "Namun jika tidak, bukan menjadi sebuah keniscayaan
akan terjadinya gerakan revolusi rakyat dari seluruh elemen masyarakat, seluruh
komponen bangsa dari berbagai suku, agama, bangsa, dan ras yang akan menjelma
bagai tsunami dahsyat yang akan meluluhlantahkan para pengkhianat bangsa", tidak dapat dimaknai
sebagai narasi yang memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Sepanjang
kalimat "Bukan menjadi sebuah keniscayaan akan terjadinya
gerakan revolusi rakyat" , secara grmatikal verbal bukanlah
narasi untuk menyerukan perlawanan terhadap penguasa umum. Penulis pribadi
berpendapat, bahwa makna dari kata tersebut adalah jika Presiden tidak
melakukan apa yang diminta, maka bukan hal yang mutlak ( kemungkinan ) akan
terjadi gerakan revolusi rakyat. Penulis dengan tegas mengatakan bahwa, selama
gerakan revolusi rakyat dilakukan dalam koridor konstitusional seperti yang
telah dituangkan dalam UUD 1945, hal ini bukanlah suatu bentuk perlawanan atau
pun ujaran kebencian, karena kritik dan kebebsan berpendapat merupakan vitamin
dalam kehiduan berdemokrasi. Narasi tersebut pula, bukankah tindakan makar
guna menggulingkan emerintahan yang sah. Karena sejatinya,
Impeachment/Pemakzukan Presiden telah diatur secara tegas di dalam Pasal 7A dan
7B UUD 1945. Rakyat dalam hal ini, dapat meminta kepada DPR untuk mengusulkan
kepada MPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Namun
pertanyaan selanjutnya, apakah kemudian alasan ketidakpuasan atas kepemimpinan
atau kebijakan Presiden dapat dijadikan sebagai dasar impeachment/Pemakzulan
Presiden ? Berdasarkan Pasal 7A Ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa " Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas ususl DPR, baik apabila
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindakan pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden ". Kemudian dalam Pasal 7B UUD 1945, dijelaskan bahwa usulan
tersebut diperiksa, diadili, dan diputus seadil-adilnya oleh Mahkamah
Konstitusi. Berdasarkan amandemen ketiga ini, konstitusi dengan tegas membatasi
bagaimana dan dalam hal apa impeachment/pemakzulan kepada Presiden dapat
dilakukan. Sehingga, sejarah penolakan pidato pertanggungjawaban Presiden
Soekarno pada tahun 1966 yang diakibatkan oleh kebijakan dan lawan politik yang
berbeda dan berakhir menjadi pada pemakzulannya, tidak lagi dapat
dilakukan dan dibenarkan berdasarkan konstitusi kita saat ini. Tegasnya,
penulis berpendapat bahwa berdasarkan UUD 1945, ketidakpuasan terhadap
kepemimpian ataupun kebijakan Presiden tidak dapat dibenarkan dan tidak dapat
dijadikan alasan.
Pertanyaan
berikutnya, apakah kesalahan dalam mengambil kebijakan dapat dimaknai bahwa
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden? Dengan tegas penulis
katakan tidak. Mengapa? karena Pasal 6 UUD 1945 dengan tegas menyatakan b ahwa
" Calon Presiden dan Calon Wakil
Presiden harus seorang warga negara Indonesia asli sejak kelahirannya dan tidak
pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak
mengkhianati negara, serat mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan
tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden ". Kemudian
dalam UU No.7 Tahun 2017 tidak menyaratkan bagi presiden untuk cakap dalam
mengambil setiap kebijakan dan tindakan pemerintahan.
Pembungkaman
terhadap kebebasan berpendapat yang merupakan hak konstitusional setiap warga
negara, jelas merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, jika para aparat penegak hukum paham betul makna demokrasi dalam sistem ketatanegaraan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, tindakan-tindakan demikian seharusnya tidak dibenarnakan. Lantas, sudah
tepatkah polisi menangkap dan menahan Ruslan Buton atas tuduhan perlawanan
terhadap penguasa umum atau bentuk ujaran kebencian antar golongan ? Alih-alih
mewujudkan cita-cita dan semangat juang reformasi dalam bingkai demokrasi,
rezim ini menunjukkan semangat reformasi dalam bingkai otoritarianisme.
Nah bagaimana Sobat ? sejauh ini sudah paham belum terhadap penjelasan mimin diatas ? hehe. Jika Sobat ingin request materi untuk dibahas dan dikaji melalui blog ini, silahkan sertakan pesan kalian di kolom komentar di bawah ini yaaa! Nantikan terus postingan-postingan Pemuda Visioner selanjutnyaa !
Referensi : Ni'matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers, 2018, hlm.264-267
Comments
Post a Comment